AYOSUROBOYO | – Kekayaan dan Kemiskinan identik menggambarkan perbedaan dalam status sosial ekonomi dan akses terhadap sumber daya.
Ketimpangan kekayaan dapat meningkatkan kemungkinan individu jatuh ke dalam kemiskinan. Hal ini dapat dikaitkan dengan kisah Qarun yang tenggelam bersama harta kekayaannya akibat dari kekufuran dan kesombongannya.
Kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai bentuk peringatan sekaligus menjadi pengingat bagi manusia. Bahkan, dalam sebuah hadits, nama Qarun dijejerkan bersamaan dengan nama-nama lain yang tercela perilakunya.
Sebelum menjadi hartawan yang bergelimang kekayaan, Qarun sangatlah miskin dan memiliki banyak anak.
Dalam Ensiklopedia Al-Qur’an dan Hadis, “Qarun adalah salah seorang sepupu Nabi Musa, anak dari Yashar yang merupakan adik kandung ayah Nabi Musa, Imran.
Qarun, bahkan sempat meminta Nabi Musa untuk mendoakannya agar diberikan harta benda dan permintaan tersebut dikabulkan oleh Allah.
Banyak orang saleh yang telah mengingatkannya dan menasihati agar ia tidak bersikap berlebihan dan tinggi hati. Namun, Qarun mengabaikan dan menganggap bahwa harta yang dimiliki didapat dari ilmu dan usahanya tanpa ada campur tangan dari Allah.
Kisah Qarun begitu masyhur. Dia mendapatkan azab Allah SWT hingga mati mengenaskan. Qarun disebutkan dalam Alquran Al Karim sebanyak empat kali.
Seperti yang dikemukakan oleh Anggota DPD RI, Lia Istifhama. Dalam konteks kisah Qarun ini dapat menjadi refleksi tentang bagaimana kekayaan dan kekuasaan dapat mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang, serta bagaimana kemiskinan kultural dapat mempengaruhi kesempatan dan kualitas hidup seseorang.
Kemiskinan timbul dari kebudayaan manusia dan kepasrahan kepada takdir tuhan. Akan tetapi, Senator Jawa Timur itu juga mengatakan “kemiskinan lebih disebabkan karena struktural, seperti kebijakan ekonomi dan ketidaksetaraan akses kepada sumber daya.
Kisah Qarun tersebut secara sosial, menjadi bentuk karakter kemiskinan kultural, yaitu sebuah sikap yang tidak ingin kerja keras, melainkan ingin mendapatkan kekayaan dengan mudah dan tidak pernah merasakan pertambahan kenikmatan atas kekayaan yang dimiliki.
Kemiskinan kultural merujuk pada di mana seseorang atau kelompok masyarakat miskin tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga dalam hal akses ke sumber daya, pendidikan, dan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Karakter Qarun tentu menjadi problem serius bagi bangsa ini jikalau ada anak bangsa enggan berbuat pengabdian untuk bangsa Indonesia, melainkan hanya ingin mendapatkan kekayaan dengan cara instan tanpa menyadari etika dan moral,” ini tentu akan menjadi penyakit mental yang menjadi potret miskinnya sisi humanisme manusia itu sendiri.
Hal ini dapat terjadi ketika suatu kelompok masyarakat memiliki nilai-nilai, keyakinan, dan praktik yang mengarahkan mereka pada perilaku atau pola hidup yang menghambat kemajuan ekonomi mereka.
Untuk itu hadirnya peran negara maupun pemerintah dalam upaya mendorong perubahan budaya yang lebih inklusif dan adil, yang menghargai hak-hak semua orang dan memberikan kesempatan yang sama demi mengatasi kemiskinan kultural sangatlah penting.
Agaknya hingga saat ini Indonesia masih kesulitan untuk mengentaskan kemiskinan. Sebagai negara berkembang, salah satu permasalahan yang masih menjadi perhatian hingga saat ini adalah tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Sedangkan, untuk mencapai Indonesia Emas 2045 diperlukan tingkat penduduk miskin yang rendah.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat statistik (BPS) pada tahun 2024 kemiskinan di Indonesia berada pada 9,03 persen atau 25,22 juta orang. Nilai tersebut turun dari tahun 2023 yang berada pada 9,36 persen atau 25,90 juta orang. Bahkan hingga tahun 2021 persentase kemiskinan tetap berada di nilai 9 persen.
Dalam hal ini, jika penduduk miskin tidak berubah maka cita-cita menjadi negara maju akan sulit digapai karena salah satu syarat menjadi negara maju adalah tingkat penduduk miskin yang rendah.
Menilik fenomena yang terjadi akhir-akhir ini jika dihubungkan dengan tipologi kemiskinan, beberapa kelompok masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai miskin yang diakibatkan oleh nilai budaya mereka sendiri.
Ditegaskan juga oleh Lia, bahwa jika kemiskinan kultural muncul maka cenderung akan terus terjadi ke generasi-generasi selanjutnya, seperti halnya anak dari perkampungan kumuh, mereka cenderung akan menerima nilai dan sikap dari kebudayaan perkampungan kumuh.
Ironisnya, jika, anak tersebut tidak didukung akan adanya dorongan pemikiran-pemikiran untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik, maka anak tersebut tetap menjadi penerus dari kemiskinan kultural tersebut.
Selain dari perilakunya sendiri, penyebab lain dari kemiskinan kultural adalah cara pandang yang salah terhadap agama. Di mana adanya pemahaman yang salah terkait dengan takdir tuhan.
Seperti konsep kisah Qarun tersebut yang disalah pahami bahwa kekayaan dan kemiskinan yang dirasakan adalah bagian dari takdir tuhan, maka sudah sepatutnya untuk diterima. (*)