AYOSUROBOYO | Surabaya – Jokowi, dua hari sebelum mendapat mandat mencalonkan diri menjadi presiden oleh sang Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, pada Jum’at, 14 Maret 2014, diajak melakukan perjalanan ritual dengan berziarah ke makam proklamator RI, Ir. Sukarno, di Blitar.

Kepergian ke Blitar dua tokoh itu dinilai oleh para pengamat sebagai kekecewaan politik yang dibungkus dengan peristiwa ritual berupa ziarah kubur. Maklum, yang diajak Megawati adalah seorang Joko Widodo, seorang Gubernur DKI, yang saat itu naik daun dan digadang-gadang oleh simpatisannya memenangkan pemilu presiden 2014.

Dari berbagai pengawasan tingkat elektabilitas Jokowi tidak ditandingi oleh tokoh-tokoh lain, termasuk sang pemberi mandat sekalipun, yakni Megawati Soekarnoputri sendiri.

Jokowi memang fenomenal sejak terpilih menjadi gubernur DKI dan mengalahkan pasangan petahana, Fauzi Bowo,. Padahal, saat itu dia Fauzi Bowo di keroyok sejumlah partai-partai besar yang disepakati. Ternyata Jokowi mampu membalikkan prediksi para pengamat.

Baca juga : Relawan Jokowi Laporkan Roy Cs Tukang Fitnah ke Polisi

Setelah Jokowi memimpin ternyata dia disukai masyarakat karena gaya komunikasi politiknya yang dianggap merakyat, polos dan jauh dari pencitraan politik. Mungkin masyarakat sudah jenuh dengan pencitraan politik sebagaimana dikembangkan oleh kebanyakan politisi kita kala itu.

Jokowi mengubah gaya politik dengan terjun langsung ke masyarakat dengan model “blusukan” ke berbagai sudut dan lorong ibukota. Semua orang terbelalak dan dianggap sebagai model komunikasi politik yang sangat efektif. Tak pelak kini banyak yang meniru gaya dan model Jokowi .

Sebelum Megawati memberikan mandat kepada Jokowi, banyak spekulasi muncul mengenai siapa yang diusung oleh PDI-P sebagai calon presiden pada pemilu 2014. Ada yang beranggapan Megawati masih tetap ingin maju, meski dari berbagai pengawasan menilai elektabilitas Megawati masih dianggap rendah, lalu ada pula yang mengira Puan Maharani akan disingkirkan, bahkan Megawati masih mencari sosok lain, yang penting dari darah Soekarno.

Namanya kalkulasi atau spekulasi politik ya sah-sah saja, apalagi di saat atau hari-hari politik saat itu, siapapun boleh berbicara tentang apapun, meski kadang-kadang ada yang tidak masuk akal juga.

Tafsir-tafsir politik tahun itu terus bertebaran hingga waktu pemilu presiden pada bulan Juli. Tapi setelah Jokowi menerima mandat akhirnya semua spekulasi itu berakhir dengan sendirinya.

Megawati yang tersorot pendiam itu ternyata mendengarkan suara simpatisannya untuk mengusung salah seorang kadernya maju menjadi calon presiden, sehingga PDI-P bisa kembali menjadi partai penguasa yang akan memerintah negeri ini.

Tampaknya PDI-P sudah jenuh menjadi partai oposisi selama 10 tahun pemerintahan SBY dan ingin segera kembali, bukan hanya sebagai partai pemenang pemilu tetapi juga penguasa. Itu sebabnya PDI-P tidak mau ketinggalan momen dengan menampilkan Jokowi sebagai kader terbaiknya maju sebagai calon presiden.

Baca Juga : Ketahuan Bohong Comot dari Medsos Kini Sang Pakar Telematika Bakal Dilaporkan Orang Pertama Penyebar Foto

Nah”bagi pengkaji semiotika politik, tanda-tanda bahwa mandat dari PDI-P akan jatuh ke tangan Jokowi sebenarnya sudah sangat jelas. Sebab Semiotika hakikatnya adalah ilmu tentang tanda, termasuk tanda apa saja, untuk melihat interaksi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat.

Runtang-runtung Jokowi dengan Megawati ziarah ke Blitar saat itu sebenarnya secara gamblang menunjukkan bahwa Megawati akan memilih Jokowi mewakili PDI-P untuk maju menjadi calon presiden.

Sebagai politisi senior yang telah merasakan getirnya politik dan terhimpit oleh penguasa Orde Baru, tentu saja Megawati tidak gegabah menyampaikan pesan politiknya secara vulgar.

Megawati menunggu saat yang tepat untuk melakukan sesuatu, termasuk menyampaikan pesan politik kepada publik. Oleh karena itu, kendati terus didesak oleh banyak kalangan siapa calon presiden dari PDI-P, pada 2014, lalu, Megawati tetap bungkam.

Dia kukuh berpendirian, seolah tidak menggubris omelan orang yang jengkel dengan model komunikasi politiknya, meski sebenarnya jika Masyarakat jeli, isyarat-isyarat politik Megawati itu sudah bisa dibaca.

Dalam kajian semiotika (politik) dalam pengambilan keputusan, seorang pemimpin tidak harus menyampaikan pesan politik secara verbal. Melalui semiotika, masyarakat bisa belajar bagaimana memahami cara dan model komunikasi seorang tokoh atau pemimpin, seperti Megawati.

Megawati tergolong tokoh yang tidak suka kata obral. Pengamat politik asing menyebutnya sebagai ‘politisi diam’. Dia lebih banyak mengembangkan komunikasi non verbal dari pada komunikasi verbal. Oleh karena itu, makna tindakannya sering kali sulit ditebak.

Orang yang ingin memahami tindakannya harus mengikuti semua gerakan-geriknya secara total di semua kesempatan agar tidak ada teks yang terlewat.

Mandat Megawati ke Jokowi sebenarnya juga bisa dibaca ketika PDI-P menggelar acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) , 6 September 2013. Ketika itu, Megawati sudah menyuguhkan bahasa politik yang tegas, yakni dengan menyuruh Jokowi untuk membacakan “Deklarasi Hidup Bung Karno”.

Mengapa kok Jokowi diminta membaca naskah tersebut? Megawati telah memberi isyarat politik secara simbolik bahwa ia sebenarnya telah memberi contoh untuk menghadirkan pemimpin penerus yang lebih muda.

Di saat Raker itu Megawati menyampaikan dua isu penting, yakni pentingnya regenerasi pemimpin bangsa dan kelestarian nilai-nilai ajaran Bung Karno yang harus tetap kokoh.

Sebagian masyarakat sempat terkecoh dengan jawaban Jokowi saat menjabat Gubernur DKI, ketika setiap ditanya oleh rekan media atau wartawan tentang kemungkinannya dicalonkan atau mencalonkan diri menjadi presiden karena hasil seurvei selalu mengungguli yang lain.

Beberapa kali Jokowi menjawab “Saya ngurusi Jakarta”, Gak ngurus survei”, “Tanya Bu Mega”, dan jawaban-jawaban sejenisnya, yang seolah-olah tidak mau.

Masyarakat harus tahu bahwa Jokowi adalah orang Jawa 100%. Dimana dalam tradisi dan budaya Jawa mengatakan sesuatu secara terus terang, termasuk mencakup jabatan, dianggap tidak bijak.

Bangsa Indonesia.

By AYOSUROBOYO

AYOSUROBOYO

Verified by MonsterInsights